MAKALAH
EKONOMI POLITIK PEMBANGUNAN
Tentang
“Liberalisme dan
Hubungannya dengan Ekonomi Politik Pembangunan”
Oleh :
Fadhlan Rizky / 1101624
Prodi Ilmu Administrasi Negara
Jurusan Ilmu Sosial Politik
Fakultas Ilmu Sosial
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2013
-------------------------------------------------------------------------------------------
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis
ucapkan kepada Allah swt yang telah memberikan rahmat dan karunianya hingga
penulis dapat menyelesaikan makalah yang sederhana ini. Shalawat dan salam juga
penulis ucapkan kepada baginda Muhammad saw, semoga mendapat syafaat dari
beliau kelak. Amin
Makalah yang berjudul “Liberalisme dan Hubungannya dengan
Ekonomi Politik Pembangunan” ini merupakan take home test pada
mata kuliah Ekonomi Politik Pembangunan,
yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai pengertian Liberalisme,
Hubungannya dengan sistem ekonomi, dan dampaknya di Indonesia.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis sangat
mengharapkan kritikan dan saran terhadap makalah ini, agar lebih baiknya
makalah kedepannya.
Padang,
November 2013
Penulis
A.
Pengertian Liberalisme
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi,
pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa
kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama.
Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat
yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham
liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.
Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh
dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan
kebebasan mayoritas.
B.
Hubungan Liberalisme dengan Ekonomi
Ideologi Liberalisme berkembang juga kepada ilmu ekonomi
dan menghasilkan sistem ekonomi liberal Kapitalis. Sistem ekonomi liberal
kapitalis adalah sitem ekonomi yang aset-aset produktif dan faktor-faktor
produksinya sebagian besar dimiliki oleh sektor individu/swasta. Sementara
tujuan utama kegiatan produksi adalah menjual untuk memperoleh laba.
Sistem perekonomian/tata ekonomi liberal kapitalis
merupakan sistem perekonomian yang memberikan kebebasan kepada setiap orang
untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang, menjual
barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya.
Dalam perekonomian liberal kapitalis setiap warga dapat
mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas
bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar- besarnya dan bebas
melakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan bebas.
Ciri-ciri dari sistem ekonomi liberal kapitalis
antara lain :
a. Masyarakat diberi kebebasan
dalam memiliki sumber-sumber produksi.
b. Pemerintah tidak ikut campur
tangan secara langsung dalam kegiatan ekonomi.
c. Masyarakat terbagi menjadi dua
golongan, yaitu golongan pemilik sumber daya produksi dan masyarakat pekerja
(buruh).
d. Timbul persaingan dalam
masyarakat, terutama dalam mencari keuntungan.
e. Kegiatan selalu
mempertimbangkan keadaan pasar.
f. Pasar merupakan dasar setiap
tindakan ekonom.
g. Biasanya barang-barang
produksi yang dihasilkan bermutu tinggi.
Sistem ekonomi
liberal kapitalis selain memilki keuntungan juga mempunyai kelemahan, antara
lain :
a. Keuntungan :
1). Menumbuhkan inisiatif dan kerasi masyarakat dalam
kegiatan ekonomi, karena masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah dari
pemerintah.
2). Setiap individu bebas memiliki untuk sumber-sumber
daya produksi, yang nantinya akan mendorong partisipasi masyarakat dalam
perekonomian.
3). Timbul persaingan semangat untuk maju dari
masyarakat.
4). Mengahsilkan barang-barang bermutu tinggi, karena
adanya persaingan semangat antar masyarakat.
5). Efisiensi dan efektifitas tinggi, karena setiap
tindakan ekonomi didasarkan motif mencari keuntungan.
b. Kelemahan :
1). Terjadinya persaingan bebas yang tidak sehat.
2). Masyarakat yang kaya semakin kaya, yang miskin
semakin miskin.
3). Banyak terjadinya monopoli masyarakat.
4). Banyak terjadinya gejolak dalam perekonomian karena
kesalahan alokasi sumber daya oleh individu.
5). Pemerataan pendapatan sulit dilakukan, karena
persaingan bebas tersebut.
C.
Sejarah dan Perkembangan Sistem Ekonomi Liberalis
Sistem ekonomi liberal kapitalis lebih bersifat
memberikan kebebasan kepada individu/swasta dalam menguasai sumber daya yang
bermuara pada kepentingan masing-masing individu untuk mendapatkan keuntungan
pribadi sebesar-besarnya. Hal tersebut tidak terlepas dari berkembangnya paham
individualisme dan rasionalisme pada zaman kelahiran kembali kebudayaan Eropa
(renaisance) pada sekitar abad pertengahan (abad ke-16). Yang dimaksud dengan
kelahiran kembali kebudayaan Eropa adalah pertemuan kembali dengan filsafat
Yunani yang dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan modern setelah
berlangsungnya Perang Salib pada abad 12 – 15. Cepat diterimanya kebudayaan
Yunani oleh ilmuwan Eropa tidak terlepas dari suasana masa itu, dimana Gereja
mempunyai kekuasaan yang dominan sehingga berhak memutuskan sesuatu itu benar
atau salah. Hal tersebut mendorong para ilmuwan untuk mencari alternatif diluar
Gereja. Dalam hal ini filsafat Yunani yang mengajarkan bahwa rasio merupakan
otoritas tertinggi dalam menentukan kebenaran, sangat cocok dengan kebutuhan
ilmuwan Eropa waktu itu.
Pengaruh gerakan reformasi terus bergulir, sehingga
mendorong munculnya gerakan pencerahan (enlightenment) yang mencakup pembaruan
ilmu pengetahuan, termasuk perbaikan ekonomi yang dimulai sekitar abad 17-18.
Salah satu hasilnya adalah masyarakat liberal kapitalis.
Namun gerakan pencerahan tersebut juga membawa dampak
negatif. Munculnya semangat liberal kapitalis membawa dampak negatif yang
mencapai puncaknya pada abad ke-19, antara lain eksploitasi buruh, dan
penguasaan kekuatan ekonomi oleh individu. Kondisi ini yang mendorong
dilakukannya koreksi lanjutan terhadap sistem politik dan ekonomi, misalnya
pembagian kekuasaan, diberlakukannya undang-undang anti monopoli, dan hak buruh
untuk mendapatkan tunjangan dan mendirikan serikat buruh.
a. Sistem
liberal kapitalis awal/klasik.
Sistem ekonomi liberal kapitalis klasik berlangsung
sekitar abad ke-17 sampai menjelang abad ke-20, dimana individu/swasta
mempunyai kebebasan penguasaan sumber daya maupun pengusaan ekonomi dengan
tanpa adanya campur tangan pemerintah untuk mencapai kepentingan individu
tersebut, sehingga mengakibatkan munculnya berbagai hal negatif diantaranya
eksploitasi buruh dan penguasaan kekuatan ekonomi.
b. Sistem
liberal kapitalis modern.
Sistem ekonomi liberal kapitalis modern adalah sistem
ekonomi liberal kapitalis yang telah disempurnakan. Beberapa unsur
penyempurnaan yang paling mencolok adalah diterimanya peran pemerintah dalam
pengelolaan perekonomian. Pentingnya peranan pemerintah dalam hal ini adalah
sebagai pengawas jalannya perekonomian. Selain itu, kebebasan individu juga
dibatasi melalui pemberlakuan berbagai peraturan, diantaranya undang-undang
anti monopoli (Antitrust Law). Nasib pekerja juga sudah mulai diperhatikan
dengan diberlakukannya peraturan-peraturan yang melindungi hak asasi buruh
sebagai manusia. Serikat buruh juga diijinkan berdiri dan memperjuangkan nasib
para pekerja. Dalam sistem liberal kapilalis modern tidak semua aset produktif
boleh dimiliki individu terutama yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat
banyak, pembatasannya dilakukan berdasarkan undang-undang atau
peraturan-peraturan. Untuk menghindari perbedaan kepemilikan yang mencolok,
maka diberlakukan pajak progresif misalnya pajak barang mewah.
D.
Dampak Ekonomi Liberalis di Indonesia
Hingga saat ini, Indonesia masih harus mengimpor pangan.
Mengimpor bahan-bahan untuk pemenuhan produk masyarakatnya sendiri. Sangat ironis,
sebuah negara yang kaya raya akan sumber daya alam dan potensi sumber daya
manusia yang sangat besar menjadi negara yang terbelakang dan harus
menggadaikan kedaulatannya dengan menunggu kebaikan dari tangan-tangan
negara-negara lain.
Saat ini Indonesia harus mengalokasikan sekitar 5 miliar
dollar AS atau setara dengan 50 triliun rupiah
biaya dari APBN untuk sekedar membiayai impor pemenuhan kebutuhan
pangan dalam negeri. Menurut Kompas (24/08/09), ada lima komoditas
pangan yang masih diimpor oleh pemerintah Indonesia saat ini; kedelai sekitar
595 juta dollar AS/ tahun (Rp 5,95 triliun); gandum 2,25 miliar dollar AS
(Rp 22,5 triliun); gula 859,5 juta
dollar AS (8,59 triliun); daging sapi 480 juta dollar AS (Rp 4,8 triliun); dan
garam 90 juta dollar AS (Rp 900 miliar).
Menurut Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Hasanuddin, Prof.Dr.Ir. Muslim Salam M.Ec, ada 4 penyebab
utama sehingga sebuah negara membuat kebijakan impor pangan; Pertama, produksi
dalam negeri lebih mahal daripada produk luar negeri, artinya pemerintah
cenderung memilih untuk mengimpor karena harga dari luar lebih murah. Kedua,
ketersediaan pangan dalam negeri tidak mencukupi. Ketiga, pertimbangan politik,
artinya meskipun sebuah negara sebenarnya sudah mencapai tahap swasembada tapi
impor dibutuhkan untuk menjaga kontinuitas ketersediaan pangan. Keempat,
kualitas pangan dalam negeri tidak sesuai dengan kebutuhan industri dan
kontinutasnya.
Menurutnya, dalam melihat faktor kecenderungan pemerintah
untuk tetap mempertahankan impor pangan, pemerintah belum fokus pada
peningkatan kualitas pertanian. Sehingga
masalah pertanian di Indonesia masih tetap mandek dan pemerintah terus menerus
mengimpor hasil pertanian. Masalah-masalah yang belum bisa dituntaskan oleh
pemerintah dalam hal pertanian adalah ketidakmampuan pemerintah dalam
mengimbangi pertambahan penduduk yang terus menerus meningkat tiap tahunnya.
Sekitar 2% peningkatan penduduk tiap tahun di Indonesia. Sementara, disatu sisi
lahan-lahan pertanian masih tetap stagnan.
Selain masalah teknis yang dihadapi Indonesia dalam
bidang pertanian, masalah yang cukup prinsipil yang dihadapi Indonesia tidak
lepas dari kondisi sistem ekonomi politik
kontemporer. Dimana frame utama
hubungan ekonomi antar negara adalah neoliberalisme atau globalisasi.
Dengan didirikannya WTO(World Tread Organitation) sebagai
satu-satunya regulator perdagangan dunia, menjadikan negara-negara kapitalis
bisa mendapatkan apa yang diinginkannya dari negara-negara miskin. WTO sebagai
agen neoliberalisme memaksakan kebijakan-kebijakannya kepada pemerintah yang
sangat berpihak pada pemilik modal atau negara-negara maju, seperti kebijakan
anti proteksionisme, liberalisasi pasar dan pengurangan Subsidi pada
produk-produk perekonomian lokal.
Dalam kasus pangan Indonesia, negara yang dikenal sangat dekat dengan rezim
kapitalisme global sejak zaman orde baru hingga saat ini, sudah menjalankan
resep-resep yang didiktekan oleh rezim kapitalis tersebut. Rezim orde baru yang
sangat pro pada pasar saat itu dalam kebijakan pertaniannya, terutama beras,
menjadikan pertanian sebagai penyangga proses industrialisasi. Harus dicatat
industrialisasi bukan berbasiskan pada sektor pertanian.
Pemerintah menggenjot produksi pertanian dengan berbagai
macam cara. Hingga tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras.
Kebijakan produksi dan swasembada nyatanya tidak berbanding lurus dengan
kesejahteraan petani Indonesia saat itu. Menurut Syaiful Bahari Wakil Direktur
Eksekutif Sekretariat Bina Desa, swasembada beras tahun 1984 tidak berarti
apa-apa bagi petani. Fakta yang diungkapkan dari hasil penelitian yang
dilakukan Survei Agro Ekonomi (SAE) menunjukkan, justru di saat produksi beras
mencapai titik puncak, jumlah petani kecil kian meningkat. Dari 50,99 persen
menurut Sensus Pertanian 1983 menjadi 51,63 persen tahun 1993. Berdasarkan
sensus tahun 2003 terjadi peningkatan 2,6 persen per tahun. Hasil penelitian di
tingkat mikro, di beberapa desa memperjelas keterkaitan antara kepemilikan
lahan, tingkat kemiskinan, dan kerawanan pangan.
Tahun 1995, sebagai anggota dari WTO,
Indonesia menandatangani sebuah perjanjian yang dikenal dengan AoA
(Agreement on Agriculture) yang berisi tentang aturan-aturan peranan pemerintah
dalam pertanian seperti liberalisasi pasar, privatisasi, dan pengurangan
subsidi. Aturan ini menjadikan kondisi pertanian Indonesia semakin memburuk.
Peranan pemerintah sedikit demi sedikit dalam bidang pertanian atau
pengembangan pertanian semakin dikurangi.
Pengurangan subsidi dan liberalisasi pasar dalam bidang pertanian secara
otomatis akan melemahkan sektor pangan atau pertanian Indonesia. Akhirnya impor
secara besar-besaran pun tidak bisa dihindari. Juga tentunya akan mempengaruhi
kerja-kerja petani kecil dalam memproduksi pertanian mereka. Impor pangan yang
besar oleh pemerintah akan mematikan sektor pertanian rakyat kecil sedikit demi
sedikit. Apalagi biaya atau harga pangan impor itu relatif lebih murah dari
produksi lokal sehingga produksi pertanian lokal tidak bisa bersaing.
Produk lokal tidak bisa bersaing dengan kualitas dan harga yang berbeda,
karena campur tangan pemerintah dalam pengembangan kualitas pertanian sangat
minim. Ditambah lagi subsidi yang semakin dikurangi. Sekjen Dewan Jagung
Nasional, Maxdeyul Sola, mengatakan,
dari sekitar 165 triliun kebutuhan subsidi nasional dana yang ada di
Departemen Pertanian hanyalah sekitar kurang lebih 5%. Fakta ini juga
diungkapkan oleh Muslim Salam, bahwa memang subsidi pemerintah semakin
berkurang. 2008 lalu, subsidi pemerintah dalam bidang pertanian masih Rp 8,3
triliun rupiah dan kucuran dana dari perbankan hanya sekitar 5%. Menurutnya,
itu tidak cukup untuk membangun sektor pertanian. Sekarang, 2010, biaya subsidi
menurun. Pembangunan pertanian seharusnya pemerintah memberikan anggaran yang
lebih pada sektor pertanian.
Sri mulyani sebagai Menteri Keuangan Kabinet Indonesi
Bersatu Jilid II, mengakui hal itu, bahwa subsidi pertanian negara maju saat
ini lebih besar dibandingkan dengan subsidi yang diberikan pemerintah kepada
petani Indonesia. Sehingga menyulitkan Indonesia mengekspor hasil pertanian ke
negara tersebut. Kalau dibandingkan dengan subsidi yang diberikan oleh
pemerintah negara maju kepada sektor pertanian, dari World Bank menyebutkan
bahwa subsidi negara maju pertahun sekitar US$ 368 miliar pertahun pada periode
2005 hingga 2007. Uni Eropa (US$ 151 miliar pertahun), AS (US$ 102 miliar
pertahun), Jepang (US$ 40 miliar pertahun).
Solusi
Kebijakan Pertanian Indonesia
Masalah-masalah yang terjadi di Indonesia dalam sektor
pertanian, bukanlah karena persoalan teknis semata, infrastruktur, luas tanah,
hingga kebijakan pupuk, benih dsb. Masalah yang mendasar terletak di
kepala-kepala pengambil kebijakan yang dipenuhi oleh logika pasar. Kalaupun ada
yang sadar, mereka juga tidak mampu melawan rezim kapitalisme global yang
menggunakan organisasi-organisasi Internasional, IMF, World Bank dan WTO
sebagai pusat kendalinya. Persoalan teknis yang terjadi karena paradigma
kebijakan pemerintah yang memang bermasalah. Artinya, untuk memperbaiki kondisi
pertanian maka terlebih dahulu yang harus ditangani adalah paradigma pengambil
kebijakan di negara kita. Indonesia
mesti melakukan pembenahan atas kebijakan pertanian di Indonesia sebelum petani
dan masyarakat Indonesia betul-betul mati kekurangan pangan.
Sebagai warga negara yang sadar akan hal ini kita juga
mesti mendorong pemerintah untuk melakukan kebijakan yang anti pada
kebijakan-kebijakan negara-negara maju dan lembaga-lembaganya, IMF,WTO, World
Bank, yang sangat tidak adil dalam melakukan hubungan dagang dengan
negara-negara berkembang bahkan bisa dibilang kejam. Janji-janji manis dari
lembaga yang memimpin Liberalisasi ekonomi tersebut hanyalah sebuah pertolongan
palsu yang diberikan, yang nyatanya malah membuat negara-negara berkembang
makin terpuruk dan menguntungkan negara maju dengan sejumlah syarat yang harus
dipenuhi. Jika memang negara sudah tidak mampu mendengar suara-suara kritis itu
maka tidak ada jalan lain, revolusi adalah solusi yang paling radikal untuk
perubahan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
:
Wikipedia.id
Artikel “Impor Pangan Indonesia, Buah Penerapan Paradigma
Liberalisme”.
Kompas.com
Vivanews.com






0 komentar:
Posting Komentar